Senin, 20 Januari 2014

Pacaran Beda Agama

       Cinta memang pantas untuk diperjuangkan. Jadi sah-sah saja, walau beda agama akan terus diperjuangkan, kata mereka. Padahal senyatanya pacaran model ini buang-buang waktu, ditambah yang lebih parah adalah berujung dosa. Karena pacaran adalah jalan menuju sesuatu yang haram yaitu zina. Padahal kita diperintahkan tidak mendekati zina, berarti segala wasilah menuju zina terlarang. Di samping itu dan ini lebih berbahaya, karena pacaran beda agama jika sampai diteruskan pada jenjang pernikahan akan berbuah pernikahan yang tidak sah.


Awalnya Karena Meyakini Semua Agama Sama

       Keyakinan ini yang biasa muncul sampai mengatakan sah-sah saja nikah atau pacara beda agama. Padahal keyakinan semacam ini adalah keyakinan keliru yang tidak berlandaskan wahyu. Dalam Al Qur’an yang menjadi pegangan umat Islam disebutkan,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala menyebutkan,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran: 85).

Juga disebutkan dalam ayat yang menyebutkan tentang kesempurnaan Islam,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3). Kalau dikatakan bahwa Islam itu diridhoi dan di awal ayat disebutkan bahwa Islam itu telah sempurna, berarti menunjukkan bahwa ajaran selain Islam tidak diterima. Jadi, hanya Islam yang diterima di sisi Allah. 
Jika demikian, apakah pantas dikatakan ‘semua agama sama’, padahal Allah sendiri katakan tidak [?]


Nikah Beda Agama

       Kita ulas selanjutnya mengenai status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim. Disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ 

عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)

Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian. Bagian pertama pada ayat,

فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ

Janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada suami mereka yang kafir
Bagian kedua pada ayat,

لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu

       Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslimah menikah dengan pria non muslim (agama apa pun itu). Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.
Sedangkan mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) yang menjaga kesucian dirinya dari zina diperbolehkan berdasarkan ayat,

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ 
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim berdasarkan ayat ini.”
       Kenapa untuk pria muslim dibolehkan menikah dengan wanita ahli kitab? Karena kalau laki-laki, pastinya bisa membimbing dan tidak terbawa arus. Sebaliknya wanita, sifatnya lemah sehingga mudah mengikuti suami yang bisa membuatnya berpindah keyakinan. Itulah mengapa ada syari’at demikian.
       Namun perlu diperhatikan bahwa pria muslim hanya boleh menikahi wanita ahli kitab. Adapun wanita selain ahli kitab, semisal Hindu dan Budha, tidak dibolehkan. Dan juga yang diperbolehkan di sini bukan maksudnya, anak-anak hasil pernikahan pria muslim dan wanita ahli kitab bebas memilih agama nantiny. Namun tetap mengikuti agama suami (yaitu Islam). Karena Islam itu ya’lu wa laa yu’laa, Islam itu tinggi dan tidak boleh direndahkan.

Meninjau Pacaran Beda Agama
       Jika memahami penjelasan di atas, maka bagaimana dengan cara menempuh pacaran sebelum jenjang pernikahan, sebagai ajang ta’aruf atau perkenalan? Yang jelas, jika pernikahannya dibolehkan yaitu antara pria muslim dan wanita ahli kitab, tetap juga tidak boleh pacaran. Apalagi jika sebaliknya, jelas sangat tidak boleh pacaran karena memang hal itu sia-sia belaka. Jika pria non muslim dan wanita muslimah meneruskan ke pelaminan, malah nikahnya tidak sah dan statusnya adalah zina.
Pacaran sendiri terlarang dalam Islam. Ketika menyebutkan 10 larangan dalam surat Al Isro’, di antara larangan yang ada adalah larangan mendekati zina. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلً

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Ibnu Katsir berkata mengenai ayat ini, “Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya dari zina dan dari hal-hal yang mendekati zina, yaitu segala hal yang menjadi sebab yang bisa mengantarkan pada zina.”
       Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa pacaran adalah jalan menuju zina. Karena hati bisa tegoda dengan kata-kata cinta. Tangan bisa berbuat nakal dengan menyentuh pasangan yang bukan miliknya yang halal. Pandangan pun tidak bisa ditundukkan. Dan tidak sedikit yang menempuh jalan pacaran yang terjerumus dalam zina. Makanya dapat kita katakan, pacaran itu terlarang karena alasan-alasan ini yang tidak bisa terbantahkan.
       Tempuhlah jalan yang halal agar menemui barokah. Jalan halal cukuplah Anda mendatangi orang tua perempuan dan tawarkan untuk nikah setelah sebelumnya merasa pas. Jika cara ini yang ditempuh, Anda akan selamat dari murka Allah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Moga Allah menunjuki para remaja kita ke jalan yang lurus dan kesucian mereka moga terus terjaga.

Rabu, 10 Juli 2013

Sunnah Rasul di Malam Jumat

       Definisi yang benar tentang Sunnah Rasul (Sunnaturrasul) dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah Saw menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi atau informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah disebut sebagai hadits. 



       Sunnah yang diperintahkan oleh Allah disebut Sunnatullah. Namun istilah Sunnah Rasul yang mutawatir (populer) di malam Jum’at adalah penghalusan dari hubungan suami istri. Boleh jadi bbarangkali karena di Indonesia, hal-hal yang terkait dg sex cukup tabu dibicarakan secara terbuka, karena akan dianggap vulgar, maka digunakan istilah sunnah Rasul sbg pengganti).

Ada satu lagi yang sering kita dengar dari Ustadz, yang juga dianggap hadits mutawatir, yaitu :

“Barangsiapa melakukan hubungan suami istri di malam Jumat (kamis malam, red) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi.”


       Saya berusaha mencari-cari riwayat yang katanya hadist di atas, namun belum saya temukan dalam Kitab manapun. Saya akhirnya pada satu kesimpulan bahwa hadits sunnah Rasul pada malam Jum’at tersebut apalagi sama dengan membunuh 100 Yahudi adalah sama sekali bukan hadist alias karangan orang2 yang gak jelas.        Ada cerita yang saya terima, bahwa pernah ada ulama ahli hadits kita yang menelitii sanad hadits berhubungan suami istri malam Jum’at sama dengan membunuh 10 atau 100 Yahudi tersebut , dan walhasil sanadnya berhenti pada seorang Habib di Jawa Tengah, tidak nyambung ke sahabat, apalagi ke Rasul Saw. Jadi jelas itu sama sekali bukan Hadist. Jadi, Anda tidak akan menemukan satu-pun hadits ttg Rasul Saw berhubungan suami istri pada malam2 tertentu, termasuk malam Jum’at.

 
Yang ada dan sunnah Rasul untuk dilakukan pd hari Jum’at (mulai malam Jum’at), yaitu :

1)Memperbanyak membaca Shalawat, kata Nabi SAW, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pdhari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi)

2)Membaca Al Qur’an khususnya surat Al Kahfi. Kata Nabi saw,: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim) dan

3) Memperbanyak do’a , karena Rasulullah Saw bersabda, ““Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR. Abu Dawud);

4) Shalat Jum’at , Rasulullah Saw bersabda, “Salat Jumat itu wajib atas tiap muslim dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan yaitu hamba sahaya perempuan anak kecil dan orang sakit. (HR.Abu Daud dan Al Hakim) dan;

5) Ziarah Kubur, dari Abu Bakar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa berziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jum‘at, kemudian membaca surat “Yasin wa al-Qur’an al-Hakim”, maka diampunilah dia sebanyak jumlah ayat dan huruf dari surat itu.” (HR. Dailamy)

Jadi tidak ada ditemukan Sunnah Nabi tentang hubungan suami istri di hari Jum’at (malam Jum’at).
       Satu hal lagi, Jangan lupa, yang namanya sunnah Rasul itu pasti pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, dan urusan ibadah harus ada dalilnya baik dari Al Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Sebaik-baik ibadah itu adalah ibadah yang dicontohkan Rasulullah. Sedangkan untuk urusan duniawi semuanya boleh kecuali jika ada larangannya.

Kembali pada bahasan sunnah Rasul pada malam Jum’at tersebut, berikut ini saya cantumkan dua hadits Rasulullah SAW

1) Rasulullah Saw bersabda.””Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi jinabat, kemudian dia pergi ke masjid pada saat pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta dan siapa yang berangkat pada saat kedua, maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi, dan siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang mempunyai tanduk, dan siapa yang berangkat pada saat keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam, dan siapa yang berangkat pada saat kelima, maka seolah-olah dia berkurban dengan sebutir telur, dan apabila imam telah datang, maka malaikat ikut hadir mendengarkan khutbah.” (Muttafaq ‘alaih)

Tapi, hadits di atas tidak langsung mengaitkan adanya ‘kewajiban’ berhubungan pada malam harinya, hanya perintah mandi besar di hari Jum’at sebelum shalat Jum’at. Wallahu a’lam

2) Rasul Saw bersabda, “Janganlah kamu khususkan malam Jum’at dari malam yang lain untuk shalat dan janganlah kamu khususkan hari Jum’at dari hari yang lain untuk berpuasa, kecuali seseorang diantara kamu berpuasa padanya (tidak mengkhususkan hari Jum’at)“. [HR. Muslim juz 2, hal. 801]
       Itulah salah satu hadits tentang tidak mengkhususkannya malam/hari Jum’at untuk melakukan ibadah sholat dan puasa. Sedangkan yang sering disebut-sebut orang tentang sunah Rasul pada malam Jum’at tersebut sama sekali tidak ada dalilnya, untuk itu tidak perlu ikut-ikutan mengamalkannya. Namun begitu bagi yang selalu menjalankan amalan-amalan pada malam Jum’at tersebut silahkan saja.

Rabu, 22 Mei 2013

Ancaman Sengaja Meninggalkan Shalat Jum'at


Ada seorang pemuda bercerita, ia pernah meninggalkan shalat Jum'at dua kali berturut-turut karena malas. Sebab, di malam harinya ia begadang, sehingga siangnya terasa ngantuk dan malas-malasan. Pada kali ketiga, ia tertinggal shalat Jum'at lagi karena ketiduran. Sebab yang ia utarakan, ia bangun sangat pagi. Kemudian sekitar jam 10 siang rasa kantuk datang. Lalu ia tidur sampai masuk waktu Jum'at. 

Karena khawatir sudah tertinggal shalat jika ke masjid, maka ia shalat Dzuhur empat rakaat di rumahnya.Kejadian seperti di atas –boleh jadi- pernah di alami saudara kita di negeri ini. Begadang sepanjang malam karena menonton sepak bola, konser musik, atau hanya kongkow-kongkow bersama teman sehingga siangnya badan lemas dan mata berat dibuka. Akibatnya, kewajiban setiap sepekan sekali menjadi korbannya.
Sebagaimana yang sudah maklum, shalat Jum'at termasuk perkara fardhu. Tidak akan tegak agama seorang muslim kecuali dengan menunaikan dan menjaganya sebagaimana shalat-shalat fardhu lainnya. Terlebih, Allah telah firmankan langsung dalam Kitab-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسَعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9)
Karenanya, meninggalkan shalat Jum'at tanpa sebab yang syar'i –sepeti sakit parah, safar, hujan sangat lebat- adalah dosa besar. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memperingatkan dengan keras atas siapa saja yang melalaikannya,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

“Hendaknya suatu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar)
Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.”
Diriwayatkan dari Usamah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ

"Siapa yang meninggalkan tiga Jum'at (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka ia ditulis termasuk golongan orang-orang munafik." (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkehendak akan membakar rumah-rumah yang di dalamnya terdapat para lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at. Beliau bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ

Sungguh aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk shalat mengimami manusia kemudian aku membakar rumah-rumah para lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullaah menjelaskan dalam satu riwayat bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat Isya’, dalam riwayat lain shalat Jum’at, dan dalam riwayat lainnya shalat secara mutlak. Semuanya shahih dan tidak saling menafikan. (Lihat: Syarah Muslim oleh Imam Nawawi: 5/153-154)
Karenanya, para pemuda dan siapa saja yang terlanjur meremehkan shalat Jum'at dan beberapa kali meninggalkannya agar segera bertaubat kepada Allah dengan penyesalan yang dalam. Bertekad untuk tidak mengulanginya. Kemudian menanamkan azam dalam diri akan menjaga shalat Jum'at. Jika tidak, khawatir Allah menutup pintu hidayah, sehingga ia meninggal di luar Islam. Wallahu Ta'ala A'lam

Kekeliruan Pada Shalat Berjamaah


Pada kesempatan ini, kami sampaikan beberapa penyimpangan dan kesalahan, berkenaan dengan Shalat Berjama’ah. Banyak sekali yang bisa kita temukan dalam keseharian kita, namun demikian kita coba amati di kalangan kaum muslimin, mereka shalat berjama’ah, merekaAlhamdulillaah datang di masjid, tetapi masih juga melakukan kesalahan.


Tidak kurang dari 28 point kesalahan kita bisa buktikan, bahwa kaum muslimin masih salah dalam shalat berjama’ah. Bahkan mungkin bisa lebih dari itu. Untuk kemudian di akhir bahasan ini kami sampaikan sikap Imaam As Suyuuthy رحمه الله berkenaan dengan peringatan (perayaan) akhir atau awal tahun.


Adapun kekeliruan atau kesalahan dimaksud antara lain adalah
:


1. Ketika Imam shalat selesai membaca Al Faatihah, lalu jama’ah mengucapkan:“Aamiiin, waliwaali daiyaa walil muslimiin”.

Makna kalimat tersebut bagus dan tidak tercela, tetapi karena ini ibadah dan bukan karangan, dan bukan perasaan, maka kesalahan semacam itu tidak boleh diulangi, karena akan mengurangi nilai dan pahala shalat kita, karena dengan nyata shalat yang diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى itu ditambah-tambah dengan sesuatu yang bukan berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Sebagai dalil, bahwa yang demikian itu keliru adalah Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
ِArtinya:
“Jika Imam mengatakan “Aamiiin” maka aminkanlah oleh kalian. Maka barangsiapa yang “Amin”nya berbarengan dengan “Amin”nya malaikat,ia akan diampuni dosanya”.
(Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Bukan saja masalah yang kita bahas, tetapi itu merupakan pahala atau kebajikan yang dijanjikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa “Aamiiin” kita harus seragam. Ketika mengucap “Aamiiin” kita harus memperhitungkan agar tepat berbarengan dengan malaikat. Malaikat memang ghoib, tetapi yang menjadi ukuran adalah keseragaman suara. Setelah Imam mengucapkan “Ghoiril maghduubi ‘alaihim waladh dhooolliiiin”, lalu serempak jamaah mengucapkan: “Aamiiin”.
Mengucapkan Aamiiin: A – mi —- n (Min lebih panjang dari pada A).
A—min, artinya aman.
Ami—n, artinya terpercaya.
A—mi—–n, artinya: Penuhilah, kabulkanlah ya Allooh.
Masih dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
ِArtinya:
“Jika Imaam membaca Maghdhubi ‘alaihim…, maka katakanlah olehmu: Aamiiin. Barang siapa yang ucapannya bersama malaikat, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Dalam hadits tersebut tidak ada tambahan penjelasan bahwa ada “Amin waliwaali daiya walil muslimiin”. Kalau ada yang bertanya mana dalil yang melarang memberi tambahan tersebut, maka jawabannya adalah: Amrul ‘ibadati tauqiifiyyun. – Perkara ibadah adalah baku.Kalau ada dalilnya silakan dijalankan, kalau tidak ada dalil, tidak boleh dijalankan.
Bagi kita karena tidak ada dalil, dan para ulama tidak menjelaskan terhadap adanya dalil bahwa bila kita mengucapkan Aamiiin lalu ditambah dengan: Waliwaali daiya walil muslimiin, maka berarti tidak ada. Karena tidak ada, maka tidak boleh orang menambahkan dalam urusan itu, meskipun dikatakannya menjadi lebih baik.
Urusan ibadah, adalah siapa yang mengatakan “bahwa ibadah itu ada“, maka ia harus bisa mengatakan (menunjukkan) dalilnya.
Sedangkan yang mengatakan tidak ada dalilnya, adalah karena atas dasar penelitian dan sekian kajian terhadap hadits-hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Jadi kalau ada orang menambah ucapan Waliwaali daiyaa walil muslimiin, katakanlah bahwa itu Bid’ah, tidak sesuai dengan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

2. Masbuq, orang yang terlambat datang menunggu sampai imam berdiri.

Ketika Shalat berjamaah sedang berlangsung, lalu ada ma’mum yang terlambat, sementara yang berjamaah posisinya sedang tidak dalam berdiri, misalnya sedang sujud atau duduk Tasyahud, lalu yang datang terlambat itu berdiri saja menunggu sampai imam shalat berdiri, baru si terlambat itu mulai dengan Allahu Akbar (Takbiratul Ihram). Yang demikian itu keliru. Karena tidak sesuai dengan petunjuk Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dalam Hadits riwayat Imam Bukhoory, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
ِArtinya:
“Jika kalian datang pada suatu shalat, maka hendaknya kalian dengan tenang mendatangi shalat itu, apa yang kalian ketahui, maka kalian bisa masuk dalam shalat itu, maka shalatlah bersama mereka. Dan jika kalian terlambat maka sempurnakan (roka’atnya).”
(Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Dalam Hadits yang lain dari Mu’azd bin Jabal رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian memasuki suatu shalat berjama’ah, sedangkan imam dalam suatu keadaan (posisi), maka lakukan apa yang dilakukan oleh imam”.
Maksudnya, misalnya imam sedang sujud, maka langsung ikut sujud bagi yang terlambat (masbuq), jangan menunggu sampai imam kembali berdiri lagi.
Ibnu Hajar Al Asqalani memberikan penjelasan, kata beliau: “Hadits ini menunjukkan terhadap apa yang ada didalam Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari jalan ‘Abdul ‘Aziiz bin Rafi’ dari seorang laki-laki dari kalangan Anshar, kata beliau:
“Barangsiapa yang menemui aku (Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, berarti imam shalat) berada dalam keadaan ruku’ atau berdiri, atau sujud, maka hendaknya ia bersamaku sesuai dengankeadaanku”.
Maksudnya langsung lakukan seperti apa yang sedang imam lakukan, kalau imam sedang sujud, ikut sujudlah, imam sedang ruku’ ikut ruku’lah, tidak usah menunggu.

3. Seorang masbuq (ma’mum yang terlambat datang) yang ingin menyempurnakan raka’at shalatnya, sebelum imam salam, ia telah mendahului imam, ia berdiri untuk menyempurnakan shalatnya.


Ini juga merupakan kekeliruan. Oleh karena itu tidak boleh terulang kesalahan itu.
Dalil yang mengatakan hal tersebut adalah Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhoory dan Imam Muslim, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, kata beliau, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
ِArtinya:
“Imam itu dijadikan untuk diikuti, jika ia bertakbir, ikutlah kalian bertakbir, jika ia ruku’ maka ruku’lah”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Imam Syafi’iy رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa yang dalam keadaan masbuq,(terdahului oleh imam) dalam urusan shalatnya, maka tidak boleh berdiri untuk menambah rakaat kekurangannya, kecuali imam selesai dari dua salamnya”.

4. Mendahului imam secara umum.


Dalam hal ini telah dilarang keras oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhoory, kata beliau dalam judul Babnya dengan jelas mengatakan:“Dosa bagi orang yang mengangkat kepalanya, sebelum imam mengangkat kepalanya”.
Maksudnya, bangun sebelum imam bangun.
Lalu dibawakan Hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن أَبُي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ مُحَمَّدٌ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَا يَخْشَى الَّذِى يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ
ِArtinya:
“Apakah salah seorang dari kalian tidak takut, jika dia mengangkat kepalanya sebelum imam mengangkat kepalanya, lalu dijadikan kepalanya itu kepala keledai, atau bentuk dia seperti keledai ?” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Maksudnya, adalah berdosa (shalat sah, tetapi berdosa), mungkin karena ma’mum terburu-buru karena terbiasa shalat seperti ayam mematuki makanannya, atau ia tidak tahu bahwa shalat itu punya waktu yang khusus, sehingga dia shalat inginnya dilaksanakan dengan cepat, hatinya sudah kemana-mana, gerakannya sangat cepat, dia shalat tetapi seolah-olah tidak shalat. Ketika bersama imam yang mengajak untuk tuma’ninah, dengan memahami apa yang dibacanya, ketika ruku’ kata Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Ketika ruku’ perbanyak tasbih, ketika sujud perbanyak do’a.” Mana mungkin bisa segera bangun dengan cepat. Bagi orang yang tidak paham bahasa Arab, untuk sampai kepada derajat khusyu’, maka ia harus berusaha mengerti apa yang ia baca. Kalau sudah dipahami, maka diresapi. Dengan demikian tidak bisa cepat, harus tuma’ninah.
Dengan demikian ia melakukan kekeliruan yang nyata, yaitu mengangkat kepala mendahului imam. Dan itu merupakan pelanggaran.
Imam Al Mundziri dalam kitab At Targhiib Wa Tarhiib, menyatakan bahwa adalah ancaman keras bagi ma’mum yang mengangkat kepalanya sebelum imam. Lafadz Hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ( أما يخشى الذي يرفع رأسه قبل الإمام أن يحول الله رأسه رأس الكلب
ِArtinya:
“Apakah tidak takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, untuk kemudian Alloohسبحانه وتعالى tukar dengan kepala anjing?” (Hadits Riwayat Imaam Ibnu Hibban)
Jadi tidak boleh kita mendahului imam. Itu bukan perkara kecil. Dan itu merupakan pendidikan untuk disiplin.
Gerakan imam dan ma’mum ada 3 macam, yaitu: Al Musaawaat, Al Musaabaqah danMutaaba’ah.
Al Musawat (tidak boleh) yaitu imam dan ma’mum bergerak bersama-sama. Itu salah.
Al Musabaqah, artinya imam belum bangun, ma’mum sudah bangun. Seperti berlomba. Imam belum salam, ma’mum sudah salam. Yang demikian itu tidak boleh.
Mutaba’ah, inilah yang benar. Bergerak sesudah imam. Imam mengucap “Alloohu Akbar”, barulah si ma’mum mengucap “Alloohu Akbar”. Imam bangun, sesudah “Alloohu Akbar”, barulah si ma’mum bangun, sesudah “Alloohu Akbar”, dan seterusnya.
Bahkan sebenarnya, yang tertib adalah sesuai dengan lafadz Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim:
عن أَبَي هُرَيْرَةَ يَقُولُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ. فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ
(Bila imam mengucap “Alloohu Akbar”, maka ucapkanlah oleh kalian “Alloohu Akbar”, jika imam ruku’- sesudah imam ruku’nya sempurna – maka ruku’lah kalian, bila imam sujud dan sujudnya sudah sempurna, maka sujudlah, bila imam dalam keadaan berdiri, maka kalian (ma’mum) berdiri. Bila imamnya shalat sambil duduk, – mungkin karena sakit, kalian (ma’mum) harus duduk pula, meskipun kalian kuat berdiri). Itu namanya Mutaba’ah, mengikuti imam.
Bisa saja ada imam yang shalat sambil duduk, karena ia memang imam rowatib (Imam tetap). Maka ma’mumnya juga harus duduk, tidak boleh ma’mumnya berdiri. Kecuali bila si imam rowatib mempersilakan orang lain untuk menjadi imam shalat. Itu namanya Tanaazul. (Imam turun dari jabatannya). Kalau imam tetapnya, tidak mempersilakan kepada orang lain, maka jangan diganti, meskipun ia tidak kuat berdiri. Dan itu ada dalilnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Jadi semuanya akan mudah, kalau kita memang betul-betul sesuai dengan yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

5. Mempercepat langkah ketika menuju ke masjid.

Ini tidak boleh dilakukan, karena Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
عليكم بالسكينة والوقار
“’Alaikum bi sakinah wal waqor”.
Harus tenang, tidak boleh terburu-buru, lari atau mempercepat langkah. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhoory, Imam Ahmad dan Imam Ahli Sunnah, kata beliau Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Jika shalat telah ditegakkan (dimulai), maka janganlah kalian mendatanginya (menuju kepada shalat itu) dengan cara yang cepat atau sa’i (lari-lari kecil). Kecuali kalau kamu berjalan dengan jalan biasa, hendaknya kalian tenang menuju ke masjid. Apa yang kamu dapati dari imam, ikutilah. Bila kalian terlambat, maka sempurnakanlah setelah imam salam”.
Tetapi hendaknya jadikan kasus yang demikian itu sesekali, jangan setiap kali. Jangan setiap shalat itu masbuq terus. Para orang-orang shoolih zaman dahulu, seperti dikatakan oleh para ‘Ulama bahwa ada diantara mereka yang sampai 40 tahun tidak pernah terlambat Takbirotul Ihroom bersama imam shalat. Jadi selama 40 tahun tidak pernah telat, tidak pernah alpa, tidak pernah izin, selalu hadir bersama imam. Itulah kualitas orang zaman dahulu, lalu bagaimana kualitas orang di zaman sekarang?
Ada kasus dalam satu hadits, bahwa dari Abu Bakrah رضي الله عنه, ada seseorang datang untuk shalat berjama’ah dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagai imam shalat) sedang ruku’. Orang itu masuk, baru sampai didepan pintu langsung ikut ruku’ disitu.
Itu karena ia menerapkan hadits tersebut diatas, bahwa apa yang dilakukan oleh imam, lakukanlah oleh jama’ah. Tetapi itu sangat letterlijk, tetapi itu bagi kita merupakan pelajaran yang berharga. Karena setelah kejadian itu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
ِArtinya:
“Wahai Abu Bakrah, semoga engkau ditambah rajinmu (semangatmu) oleh Allah سبحانه وتعالى. Tetapi jangan engkau ulangi perbuatanmu seperti itu”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 783)
Dan itu adalah teguran yang sangat santun, tidak mencela atau mengolok-olok, tetapi memberikan motivasi, memberikan semangat.
Dalam Hadits yang lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إذا سمعت الإقامة فامش على هينتك فما أدركت فصل وما فاتك فاقض
ِArtinya:
“Jika kamu telah mendengar Iqomat, maka berjalanlah kamu menuju shalat, hendaknya kalian tenang tidak usah mempercepat jalanmu, apa yang kamu dapati, shalatlah bersama imam dan apa yang tertinggal, lengkapilah setelah imam”.
(Imaam ‘Abdul Rozzaaq dalam kitab Al Mushonnif no:3406)
Itu adalah dalil yang jelas. Dan ketika Iqomat, boleh menggunakan speaker dan boleh tidak menggunakannya. Karena orang yanag sudah siap shalat hadir di masjid. Karena Iqomat adalah aba-aba bahwa shalat sudah akan ditegakkan, maka cukuplah orang yang sudah hadir itu saja yang mendengarkannya. Boleh juga menggunakan speaker (pengeras suara), karena dalam hadits dikatakan: “Bila iqomah sudah dikumandangkan, maka hendaknya kalian berjalan menuju shalat”.
Kalimat “berjalan menuju shalat”,berarti ada jarak antara rumah dengan masjid. Menunjukkan bahwa orang mendengar dari luar masjid. Maka boleh iqomat menggunakan speaker.

6. Tidak meluruskan shaf sebagaimana mestinya.

Sebetulnya dalam shalat berjamaah, yang paling penting dibahas adalah tentang Shaf. Karena di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم untuk mengatur shaf digunakan tongkat atau pedang untuk meluruskan shaf. Yang diluruskan bukan kakinya, karena kaki orang itu ada yang panjang ada yang pendek. Yang diluruskan adalah mata kaki. Batangnya manusia adalah kaki. Itu yang harus lurus.
Ada hadits yang tegas dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melalui salah seorang shohaby, bernamaNu’man Ibnu Basyir رضي الله عنه, ia berkata, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
ِArtinya:
“Apakah kalian akan meluruskan shaf kalian, atau Allooh jadikan hati-hati kalian berselisih satu sama lain”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Ternyata urusan fisik bersambung dengan urusan hati. Dan itu benar. Orang yang terbiasa bergaul dengan orang biasa, ketika bajunya bersentuhan dengan baju orang lain, tidak menjadi masalah. Tetapi bagi orang yang kaya atau tidak terbiasa bergaul antara orang kaya dan orang miskin, maka ia tidak mau berdampingan dengan orang miskin. Tetapi dengan aturan shaf, semua harus sama dan rata, tidak pandang bulu. Dalam sholat berjama’ah, tidak ada beda antara si kaya dan miskin, tidak ada kalangan atas dan bawah, semua sama di hadapan Allooh سبحانه وتعالى. Semua lurus. Kalau tidak, maka Allooh سبحانه وتعالى akan jadikan hati orang-orang itu berselisih.
Mudah-mudahan setelah mendengar pelajaran ini, hendaknya jangan canggung. Yang harus lurus adalah antar mata-kaki dengan mata-kaki, betis dengan betis, bahu dengan bahu. Itu yang diatur oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dalam Hadits yang lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskan shaf kalian dan rapatkan, luruskan shaf dalam shalat karena lurusnya shaf juga merupakan kesempurnaan dalam shalat berjama’ah”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1003)
Dalam Hadits yang lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ
“Sowwu shufufakum faa inna taswiyatash shoufi, min iqoomatishshollaah”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhory no: 724)
– Semua nadanya sama, menunjukkan bahwa kita harus meluruskan shaf-shaf kita.
Dalam hadits yang lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Aku tidak mengingkari kalian, kecuali karena kalian tidak lurus dalam shaf”.
Dan masih banyak lagi tentang shaf, misalnya shaf laki-laki dan shaf perempuan.
Ada lagi hadits yang membicarakan shaf pertama dan shaf bagi orang yang datang belakangan. Ada lagi tentang shaf kanan dan shaf kiri berbeda. Dan semua itu diterangkan oleh Rosuululloohصلى الله عليه وسلم.
Ringkasnya,bagi laki-laki hendaknya segera penuhi shaf yang pertama, tidak usah ragu. Jangan karena rasa feodalisme, lalu anak muda tidak mau mengisi shat terdepan. Silakan siapa saja yang datang lebih dahulu, duduk di shaf paling depan.

7. Datang ke masjid, ikut shalat berjama’ah tetapi mulutnya bau.

Itu juga merupakan penyimpangan. Baunya bisa bermacam-macam, bisa bau petai, bau jengkol, bau rokok, semuanya sama, satu nasib. Bukan karena hukumnya menjadi haroom, melainkan bau-bau petai, jengkol, itu tidak ada nash untuk haroom dan halalnya, dan sesuatu yang didiamkan bukan berarti haroom, tetapi itu boleh, karena itu urusan duniawi.Tetapi jika dikaitkan dengan shalat berjama’ah, maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي غَزْوَةِ خَيْبَرَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
ِArtinya:
“Siapa yang selesai makan dari pohon ini, jangan dekat-dekat tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Demikianlah sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu, jika anda selesai makan yang berbau (seperti: pete, jengkol, bawang), hendaknya dibersihkan, dengan sikat gigi misalnya. Yang demikian itu tidak haroom, hanya makruh menurut syar’i.
Berbeda dengan merokok yang terkategorikan haroom. Bukan karena baunya, melainkan karena rokoknya.
Maka hendaknya kita menjauhkan sholat berjama’ah dari hal-hal yang berbau.
Hadits, dari ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Siapa yang selesai makan bawang merah, bawang putih, jangan memasuki masjid-masjid kami”.
Dalam riwayat lain Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Siapa yang makan bawang, maka hendaknya ia menyendiri, memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan duduklah di rumahnya”.
Padahal sholat di masjid hukumnya fardhu, menunjukkan bahwa yang demikian itu merupakan kekurangan bagi dirinya, bahkan dosa karena tidak berjama’ah di masjid.
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Barangsiapa yang makan pohon ini jangan mendekati kami dan jangan shalat bersama kami”
Padahal shalat berjama’ah itu harus, tetapi karena bau maka jangan dekat-dekat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Jangan dekat-dekat masjid dan jangan dekat-dekat imaamnya.
Demikianlah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda kepada kita semua, dan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al Bukhoory.
Dan hadits lain yang panjang dan diriwayatkan oleh Umar bin Khoththoob رضي الله عنه dalam shohiih Muslim, beliau berkata:
“Aku melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, apabila menemui ada orang yang makan makanan yang bau, lalu ia masuk ke masjid, maka oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم orang tersebut diusir, disuruh keluar lalu disuruhnya masuk ke kawasan kuburan Baqi’.
Lalu kata beliau: “Kalau ada orang yang mau makan makanan seperti itu, hendaklah dihilangkan baunya dengan cara memasaknya”.
Dari Anas bin Malik, riwayat Al Imam Ath Thobrony, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Jauhilah pohon ini (- maksudnya bawang merah dan bawang putih yang menimbulkan bau -). Ini adalah sangat busuk baunya untuk kalian makan (- Maksudnya jangan dimakan -).
Tetapi jika kalian inginkan dua jenis makan ini, bunuhlah baunya dengan api.”. (Maksudnya dimasak).

8. Shalat dengan memegang mushaf Al Qur’an

Tentu itu tidak boleh. Sering kita lihat dalam sholat Taroowih. Tetapi dalam shalat fardhudipastikan tidak lazim. Karena sesungguhnya perintah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
“Apabila kalian shalat maka hendaknya imam membaca Al Qur’an sesuai dengan apa yang olehnya dianggap mudah”.
Jadi jangan membaca yang susah, apalagi menyusahkan orang lain. Maka hendaknya imam membaca apa yang ia pahami. Tentu itu meringankan dirinya dan orang lain. Dan itu merupakan fatwa dari Syaikh ‘Abdullooh bin Jibrin, anggota ‘ulama-‘ulama besar di Saudi Arabia bahwa yang demikian itu tidak boleh.
Kata beliau : “Bila membaca Al Qur’an dari mushaf secara langsung, maka itu adalah bagian dari abas, yakni sesuatu yang membuat orang lain lalai, tidak khusyu’ dan sia-sia”.

9. Mendirikan shalat jamaah kedua, padahal imam sedang melakukan shalat berjama’ah

Jadi merupakan saingan jama’ah. Jadi itu tidak boleh. Boleh mendirikan jama’ah dengan kaum muslimin yang lain, selama itu bukan melakukan munafasah (saingan) terhadap imaam shalat yang pertama. Karena dengan mendirikan jama’ah saingan, akan menimbulkan perpecahan dalam masyakat melalui shalat berjama’ah dua gelombang.

10. Apabila iqamat sudah dilantunkan, tidak boleh ada orang yang melakukan shalat sunnat.

Maka dalam masjid harus diatur, kapan adzan dan kapan iqamat. Antara adzan dan iqamat harus ada waktu untuk memberi kesempatan kaum muslimin berwudhu, melakukan shalat sunnat, sehingga mereka sempat melakukan shalat sunnat sebelum shalat fardhu.
Misalnya Shubuh, waktu Shubuh termasuk lama, oleh karena itu antara adzan dan iqamat bisa diberikan waktu 15 – 20 menit. Setelah 20 menit barulah iqamat.
Yang perlu diperhatikan,terutama oleh muadzin, karena muadzin menentukan sah dan tidaknya ibadah shalat dan shaum. Oleh karena itu untuk waktu Shubuh harus dipahami bahwa menurut para ‘ulama yang empat (4 Madzab: Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i), menyatakan bahwawaktu Shubuh dengan diawali dengan Al Fajruts tsaani (Fajar kedua), bukan Al Fajrul Awwal (Fajar pertama). Fajar terjadi dua kali, yaitu fajar pertama dan fajar kedua. Fajar pertama adalah Kadzib dan fajar kedua adalah Shoodiq (Fajar Shoodiq).
Para ‘ulama telah mendefinisikan (Ibnu Qudamah, Imam An Nawawy) mengatakan bahwa Al Farjush shoodiq adalah Al Bayaadh, (Sinar putih), Al Mustathiil (Panjang), Al Mustadiir(melingkar ), Al Muntasyir (menyorot) fil ‘ufuqisysyarqi.
Berarti awal waktu Shubuh itu seharusnya ketika ufuk sebelah timur sudah kelihatan putih. Sebagai pertanda tidak lama lagi matahari akan terbit. Kalau belum muncul warna putih, berarti belum datang waktu fajar (Shubuh). Kalau ada orang adzan lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Maka bila kita ingin melakukan shalat, biarlah tunggu sampai kira-kira 15 – 20 menit. Di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ketika orang pulang dari shalat Shubuh, orang terlihat sosok tubuhnya saja, belum terlihat jelas wajahnya.
Demikian pula ketika Dhuhur, sesudah adzan boleh ditunggu sampai 15 – 20 menit, kalau itu di tempat pemukiman. Bukan di kantor. Waktu Ashar demikian pula. Waktu Maghrib lebih pendek lagi. Selesai adzan bisa ditunggu antara 5 – 10 menit. Harus ada waktu jeda antara adzan dan Iqamat, karena sebelum Maghrib ada shalat sunnat.
Dalam Hadits shoohih Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ ». ثُمَّ قَالَ « صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ لِمَنْ شَاءَ
Artinya:
“Shalatlah kalian sebelum shalat Maghrib, (diulang sampai 3 kali), bagi siapa yang mau”.(Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 1283)
Menunjukkan bahwa sebelum shalat Maghrib ada shalat sunnat. Kalau seandainya tidak ada kalimat “bagi siapa yang mau” dalam hadits tersebut, maka shalat sunnat sebelum Maghrib adalah shalat Sunnat Muakad. Karena ada kalimat tersebut, maka shalat sunnat Qabliatal Maghrib tidak Muakkad. Boleh bagi yang mau, yang tidak mau juga tidak mengapa. Intinya ada waktu jeda antar adzan dan iqamat.
Waktu shalat Isya’ lebih panjang, antara adzan dan iqamat bisa lebih panjang dari lainnya, bisa 15 menit, bisa 20 menit. Bahkan bisa diundur, karena jama’ahnya hanya itu-itu saja, maka boleh (Jaiz). Tetapi kalau ada jama’ah dari luar, maka harus dilaksanakan sesuai dengan waktunya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh penulis kitab hadits yang enam kecuali Imam Bukhoory, dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ
Artinya:
“Apabila iqamah telah ditegakkan (disuarakan), tidak ada lagi shalat sunnat”.
(Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1678)
Maka ketika ada orang sedang shalat sunnat, tidak boleh iqamat, tunggu sebentar hingga orang tersebut meyelesaikan shalat sunnatnya.
Kalau jamaahnya terlalu banyak, sehingga sulit melihat apakah sudah selesai shalat sunnatnya atau belum, maka gunakanlah tanda batasan waktu. Misalnya dengan aba-aba lampu merah, tanda bahwa tidak boleh lagi shalat sunnat.

11. Ma’mum ikut menyampaikan aba-aba (komando imam) kepada ma’mum dibelakangnya.

Misalnya imam bertakbir “Alloohu Akbar”, lalu ma’mum dibelakang ada yang menirukan imam dengan bersuara keras “Alloohu Akbar” untuk menyampaikan (aba-aba) kepada shaf yang dibelakangnya. Maksudnya baik, tetapi yang demikian itu tidak dibenarkan, kalau tidak dibutuhkan. Misalnya sudah ada mikrofon, dan terdengar oleh semua jama’ah, tentunya sudah tidak dibutuhkan. Tetapi bila tiba-tiba listrik mati, sehingga tidak terdengar oleh jama’ah yang dibelakang karena banyaknya jamaah, maka boleh itu dilakukan oleh salah seorang ma’mum yang ada ditengah-tengah, untuk memberikan aba-aba bagi jama’ah yang ada di belakang.
Pertanyaannya, bolehkah ada tabligh (penyampaian) dari orang yang ada di shaf belakang imam? Bagaimana hukumnya?
Jawabannya: Tabligh (penyampaian) oleh orang yang di belalakang imam tanpa ada suatu keperluan, maka hukumnya Bid’ah, tidak dianjurkan sesuai dengan kesepakatan para Imam Ahli Sunnah. Sesuai dengan kesepatan para Imam: Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para Khulafaa’ur rosyidiin menjaharkan Takbir dan tidak ada yang melakukan tabligh (penyampaian) sebelumnya. Tetapi ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sakit, dan beliau melemah suaranya, maka Abubakar As Siddiq رضي الله عنه, mengeraskan suaranya sebagai mubaligh (penyampai), atas nama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

12. Memanjangkan Takbir (biasanya dilakukan imam shalat).

Imam mengucapkan “Alloohu Akbar” dengan nada panjang (Allooooohu Akbar). Yang demikian itu keliru dan tidak boleh diulangi. Maka sebagai imam ia seharusnya tahu tentang hukum-hukum tentang shalat berjama’ah, kapan ia batal, kapan ia harus terus, bagaimana mengerti tentang kondisi ma’mum, dstnya. Dan untuk menjadi imam shalat, perlu ilmu tertentu dan harus dipahami dengan baik. Bukan asal-asalan.
 

13. Tidak mendahulukan (menunjuk) orang yang Aqra’ (Fasih bacaannya), padahal orang itu ada.

Biasanya di Indonesia banyak sekali masjid yang tidak ada imam rowatib-nya. Lalu biasanya yang ditunjuk untuk menjadi imam shalat, orang yang senior usianya. Orang yang paling tua, misalnya. Yang muda-muda agak dikesampingkan. Yang demikian itu tidak benar. Sebetulnyayang menjadi imam adalah orang yang Aqro’, orang yang hafalannya banyak (Hafidz Al Qur’an), yang fasih membaca Al Qur’an, termasuk orang faqih (tahu hukum agama). Semua itu adalah bagian dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Hadits dari Abu Mas’ud ‘Utbah bin Amir رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن أَبَي مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلاَ تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِى أَهْلِهِ وَلاَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ
Artinya:
“Menjadi imam suatu kaum adalah mereka yang paling aqro’, kalau mereka sama,maka orang yang lebih tahu dan paham tentang sunnah Rosuulullooh. Kalau ia sama, maka orang yangpaling dahulu hijrahnya”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1566)
Itulah yang tentunya merupakan aturan bagi kita semua.
Ditambah lagi ada suatu riwayat dari Amr bin Salamah Aljurmi رضي الله عنه, ia menceritakan,
“Bahwa telah datang ayahku kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Orang yang menjadi imam adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya. Aku telah datang pada suatu jama’ah yang hendak melakukan shalat, lalu dilihatnya (dipilihnya) orang yang akan menjadi ma’mum shalat itu orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya. Ternyata tidak ada, kecuali aku (Amr bin Salamah Aljurmi). Maka akulah yang dijadikan imam shalat. Padahal ketika itu umurku baru 6 atau 7 tahun”
Bayangkan, anak usia 6 atau 7 tahun menjadi imam shalat. Itu karena Qiro’atul Qur’annya, dan ia adalah termasuk shohaby, lisannya sudah ‘Arabi, dan Al Qur’an-nya sudah fasih, dan sudah diperhitungkan oleh para sahabat yang ketika itu berkumpul. Bukan seperti anak kita sekarang, meskipun umur 6 atau 7 tahun sudah bisa membaca Al Qur’an, belum aqro’, jadi jangan dijadikan imam shalat.
Bahkan menurut Imam Syafi’iy, yang dimaksud dengan Aqro’ adalah orang yang palingfaqiih, mengerti hukum Islam, mengerti yang halal dan haroom, maka merekalah yang berhak untuk dipilih menjadi imam.

14. Ketika ada disuarakan Iqamat, sampai pada kalimat: Qodqoomatishsholaah,

Qodqoomatishsholaah, lalu orang menyahut “Aqomahalloohu wa adamaha”.
عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَوْ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِى الإِقَامَةِ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا
(Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud, dan di-dho’iif-kan oleh Syaikh Nashiruddin al Albaany)
Yang demikian itu haditsnya Dho’iif. Haditsnya lemah, diriwayatkan Imam Abu Daawud, dari Abu Umamah رضي الله عنه, tetapi hadits tersebut sesungguhnya Dho’iif. Tidak boleh dipakai. Berarti ketika disuarakan Iqamat, tidak perlu dijawab dengan seperti tersebut.

15. Bersalaman kepada orang yang ada di sebelah kanan dan kiri selesai shalat.

Jabat tangan adalah terpuji, sangat dianjurkan. Tetapi melazimkan, selalu melakukan setelah selesai shalat, yang demikian adalah bagian daripada kekeliruan, karena menyalahi Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

16. Imam saktah (diam) sebentar, begitu selesai membaca Al Fatihah; maksudnya memberi
kesempatan kepada ma’mum untuk membaca surat Al Fatihah.

Yang demikian itu tidak dibenarkan. Seharusnya ia langsung membaca surat berikutnya. Ketika imam diam, ada yang memahami bahwa diam tidak menjaharkan. Dia membaca tetapi tidak manjaharkan. Tetapi di tengah-tengah surat ia menjaharkan. Yang demikian itu juga tidak benar. Itulah pemahaman saktah yang tidak dibenarkan.
Intinya yang demikian itu tidak dibenarkan, bahkan menimbulkan Bid’ah.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz, pernah ditanya tentang masalah tersebut, bagaimana hukumnya imam berhenti setelah membaca Al Fatihah, dengan maksud memberi kesempatan kepada ma’mum untuk membaca Al Fatihah, maka jawab beliau: “Tidak ada dalil yang shohiih mengenai ajaran diam bagi imam shalat, untuk memberikan kesempatan ma’mum membaca surat Al Fatihah dalam shalat jahriyah.”
Adapun ma’mum hendaknya membaca Al Fatihah dalam keadaan imam diam sejenak, jika imam itu diam. Jika tidak sempat karena diamnya hanya sebentar, maka ma’mum membaca Al Fatihah dengan sirr,walaupun imam membaca surat setelah surat Al Fatihah. Kemudian setelah ma’mum selesai membaca Al Fatihah, kemudian ia hendaknya diam mendengarkan imam. Karena ada Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al Fatihah”.
(Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim)
Lalu ada Hadits lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Kalian membaca apa dibelakang imam kalian?” Shohabat berkata: “Ya Rosuulullooh, kami membaca sesuatu dibelakang engkau”
Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Jangan kalian lakukan itu, kecuali itu surat Al Fatihah. Karena tidak ada shalat, kecuali bagi orang yang membaca surat Al Fatihah”.
Fatwa beliau صلى الله عليه وسلم, bahwa dua Hadits tersebut memberikan pengkhususan terhadap firman Allooh سبحانه وتعالى, dan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa imam shalat itu wajib diikuti, janganlah kalian menyelisihi imam, apabila imam bertakbir, maka bertakbirlah, apabila imam membaca, maka hendaknya kalian perhatikan.