Senin, 05 November 2012

Takdir..


Takdir Menurut Al-Quran

       Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal  dari akar  kata qadara yang antara lain berarti mengukur, member kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah  telah menakdirkan   demikian,"  maka  itu berarti,  

 "Allah  telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat,  atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."

       
        Dari  sekian  banyak  ayat  Al-Quran  dipahami  bahwa  semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka  tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. Menuntun dan menunjukkan mereka arah  yang  seharusnya  mereka  tuju. Begitu  dipahami  antara lain dari ayat-ayat permulaan SuratAl-A'la (Sabihisma),

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi,  yang  menciptakan (semua  mahluk)  dan  menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).

Karena itu ditegaskannya bahwa:

"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir  yang  ditentukan  oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).

Demikian pula bulan,  seperti  firman-Nya  sesudah  ayat  di atas:

"Dan    telah    Kami    takdirkan/tetapkan    bagi    bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke  manzilah yang  terakhir)  kembalilah  dia  sebagai bentuk tandan yang tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

Bahkan  segala  sesuatu  ada  takdir  atau  ketetapan  Tuhan atasnya,

"Dia  (Allah)  Yang  menciptakan  segala  sesuatu,  lalu Dia menetapkan     atasnya     qadar     (ketetapan)      dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan  tidak  ada  sesuatu  pun  kecuali  pada  sisi  Kamilah khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak  menurunkannya  kecuali dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).

Makhluk-Nya  yang  kecil  dan  remeh  pun diberi-Nya takdir. Lanjutan  ayat  Sabihisma  yang  dikutip  di  atas  menyebut contoh, yakni rerumputan.

"Dia    Allah    yang   menjadikan   rumput-rumputan,   lalu dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS Sabihisma [87]: 4-53)

       Mengapa  rerumputan  itu  tumbuh  subur, dan mengapa pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan  dan  kekeringannya, kesemuanya   telah   ditetapkan  oleh  Allah  Swt.,  melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti jika   Anda  ingin  melihat  rumput  subur  menghijau,  maka
siramilah   ia,   dan   bila   Anda   membiarkannya    tanpa pemeliharaan,  diterpa panas matahari yang terik, maka pasti ia  akan  mati  kering  kehitam-hitaman  atau  ghutsan  ahwa seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

"Allah telah menetapkan bagi segala  sesuatu  kadarnya" (QS Al-Thalaq [65]:3)

       Peristiwa-peristiwa  yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu,  pada  tempat dan  waktu  tertentu,  dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi  tanpa  takdir,  termasuk  manusia. Peristiwa-peristiwa  tersebut  berada  dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan  dalam  istilah  sunnatullah,  atau  yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."

       Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan   takdir.  Karena  sunnatullah  yang  digunakan  oleh Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang  pasti  berlaku bagi   masyarakat,   sedang   takdir   mencakup  hukum-hukum kemasyarakatan  dan   hukum-hukum   alam.   Dalam   Al-Quran "sunnatullah"  terulang  sebanyak  delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang  tiga  kali;  kesemuanya mengacu   kepada   hukum-hukum   Tuhan   yang  berlaku  pada masyarakat. Baca misalnya QS  Al-Ahzab  (33):  38,  62  atau Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.

Matahari,  bulan,  dan  seluruh  jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,

"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut  perintah-Ku,  suka atau  tidak  suka!"  Keduanya  berkata,  "Kami datang dengar penuh ketaatan."

Demikian  surat   Fushshilat   (41)   ayat   11   melukiskan "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."

Apakah  demikian  juga  yang berlaku bagi manusia? Tampaknya tidak sepenuhnya sama.

       Manusia mempunyai kemampuan terbatas  sesuai  dengan  ukuran yang  diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah  satu  ukuran  atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya,  kecuali  jika  ia  menggunakan  akalnya untuk  menciptakan  satu  alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.  Di  sisi  lain,  manusia berada  di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun  tidak  terlepas  dari  hukum-hukum  yang  telah mempunyai  kadar  dan  ukuran  tertentu.  Hanya  saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan
memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka kita  dapat  memilih  yang  mana  di  antara   takdir   yang ditetapkan   Tuhan   terhadap  alam  yang  kita  pilih.  Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan  atau  dingin;  itu  takdir  Tuhan  -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di  sinilah pentingnya  pengetahuan  dan  perlunya  ilham  atau petunjuk Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:  
"Wahai Allah, jangan  engkau  biarkan  aku  sendiri  (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."


0 komentar:

Posting Komentar