Minggu, 11 November 2012

Anjuran Salat Tepat Waktu

       
       Kapan sebaiknya shalat dilaksanakan? Itulah pertnyaan yang sangat mudah dijawab, dan jawabnya hanya satu: “di saat yang tepat”. Tetapi, apa yang dimaksud dengan “tepat” berkaitan dengan waktu shalat, ternyata para ulama bersilang pendapat. Ada sebagian yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah: “pada waktunya”, dan sebagian yang lain berpendapat: “di awal waktu”. Kontroversi inilah yang semestiya segera dijawab dengan argumen yang tepat.

 

       KETIKA seorang penafsir mencermati penggalan ayat al-Quran yang terdapat pada QS an-Nisâ’, 4/130, mereka menyatakan bahwa kata “kitâban mauqûtan” menunjukkan batasan waktu tertentu. Maknanya adalah: “setiap shalat  yang difardhukan memiliki batasan waktu, ada awalnya dan ada pula akhirnya. Rincian waktunya terdapat dalam ayat-ayat al-Quran yang lain, yang kemudian dijelaskan lebih rinci dalam hadis-hadis Nabi s.a.w.

        Umat Islam, pada umumnya, sudah enggan memperdebatkan nterval waktu pelaksanaan shalat fardhu (lima waktu), dikarenakan batasan-batasannya sudah menjadi bagian dari konsensus (ijma’), bukan saja para ulama, tetapi (konsensus) umat Islam di semua lini. Hanya saja, ketika mereka membahas tentang keutmaan melaksanakannya, mereka berselisih pandapat. Karena ada serangkaian hadis shahih yang secara redaksional menyatakan bahwa ketika Rasulullah s.a.w. ditanya tentang perbuatan yang paling dicintai oleh Allah, beliau menjawab:


الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا


(“Shalat tepat pada waktunya”)


        Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa ulama hadis. Antara lain oleh Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi yang berasal dari ‘Abdullah bin Mas’ud). Dengan redaksi yang bermacam-macam. Antara lain menurut redaksi Al-Bukhari (dalam kitab Shahih al-Bukhari):


سَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ « الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا » . قَالَ ثُمَّ أَىُّ قَالَ « ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ » . قَالَ ثُمَّ أَىُّ قَالَ « الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
»


(Aku Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Nabi (Muhammad) s.a.w.: Perbuatan apa yang paling dicintai oleh Allah? Beliau pun menjawab: “Shalat tepat pada waktunya”. Ketika ditanyakan lagi tentang persoalan yang sama, beliau pun menjawab: “Berbuat baik kepada kedua orang-tua”. Dan ketika dilajutkan lagi pertanyaannya dalam masalah yang sama, beliau pun menjawab: “Jihad di jalan Allah”.)


        Para ulama yang berpendapat bahwa kata “’alâ waqtihâ” menunjuk pada makna interval waktu, mereka pada umumnya berpegang pada ketentuan waktu shalat yang secara tegas dijelaskan di dalam ayat-ayat al-Quran dan as-Sunnah, yang semuanya mengisyaratkan pada pengertian “interval waktu”. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa hadis tersebut bermakna “pilihan” bebas bagi Islam untuk melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya (Muhammad s.a.w.). untuk melaksanaka shalat fardhu (lima waktu) dari awal (waktu) hingga batas akhirnya. Apalagi ketika hadis tersebut dipahami secara keseluruhan yang menjelaskan bahwa “shalat tepat waktu” itu terangkai dengan dua hal yang lain,yaitu: “birrul wâlidain” (berbuat baik kepada kedua orang-tua) dan “al-Jihâd fî sabîlillâh” (berjihad di jalan Allah).


       Ketiga hal itu bisa jadi merupakan tindakan yang sama-sama memiliki keutamaan dala konteks masing-masing, atau secara urut nilai keutamaannya bertingkat, yang paling utama adalah: “shalat tepat waktu”, kedua: “berbuat baik kepada kedua orang-tua”, dan yang ketiga: “berjihad di jalan Allah”. Sehingga rangkai kata “shalat tepat waktu”, bila dikaitkan dengan dua keutamaan yang lain (dalam hadis tersebut) tidak harus dimaknai dengan “awal waktu”. Namun, bila rangkaian kata “shalat tepat waktu” itu kita pisah dari dua keutamaan yang lain (berbuat baik kepada kedua orang-tua dan berjihad di jalan Allah), maka kita harus memlih antara: di awal hingga akhir waktu. Di sinilah kemudian banyak ulama yang menyatakan bahwa “shalat di awal waktu” pada dasarnya lebih baik nlainya daripada “shalat yang tertunda hingga akhir waktunya. Inilai penjelasan sebagian besar ulama hadis ketika memberi syarah (keterangan) mengenai hadis tersebut.

        Silang pendapat para ulama mengenai makna rangkain kata “’alâ waqtihâ” selayaknya tidak menjadi pijakan untk berdebap mengenai keutamaan pelaksanaan shalat (fardhu) lima waktu, bila perdebatan itu murni merupakan perdebatan mengenai keutamaan waktu shalat yang harus dipilih dalam pelaksanaan shalat fardhu (lima waktu, yang sama sekali terlepas dari pembicaraan mengenai “birrul wâlidain” dan “al-Jihâd fî sabîlillâh”.


        Sedang bantahan para ulama yang lain mengenai keutamaan shalat di akhir waktu untuk shalat “zhuhr” karena terik panas matahari atau cuaca panas, dan shalat “’isya’” untuk menunggu para jamaah (dalam rangka penunaian shalat jamaah) dan merangkaikannya dengan “qiyâm al-lail”, serta “jama’ ta’khîr” bagi para musafir yang memiiki keterbatasan waktu (yang terdapat di dalam beberapa hadis shahih), harus dipahami sebagai sesuatu (kasus) yang lain (berbeda). Karena hadis-hadis tersebut memiliki latar belakang sosio-historis yang berbeda dengan hadis mengenai keutamaan pelaksanaan shalat “tepat pada waktunya”, yang secara umum dapat diterapkan untuk semua kasus.

1 komentar: